Dalam sebuah kesempatan, di aula pondok Pesantren Al Fatah Banjarnegara, Gus Najib (begitu para santri lebih akrab memanggil KH. M. Najib Hasyim, allohuyarham), memberikan pesan terhadap kami.
"Nek wis metu kang pondok, dadia kyai. Nek dagang, yo dadia Kyaine pedagang. Nek dadi petani, yo dadia kyaine wong tani, nek dadi tukang becak dadio kyaine tukang becak. Amarga dadi kyai kuwe ora kumudu duwe pondok, nganggo kupluk sarungan serbanan. Nang ndesa dadi panutan ngamalaken ilmu sing ulih Nang pondok senajan sethithik, iku yo kyai." Tegas Gus Najib dengan aksen jawa ngapak dan nada beliau yang khas.
Kurang lebih dalam bahasa Indonesia, beliau berpesan, jika sudah di rumah sekembalinya dari pondok, jadilah kyai. Kalau jadi pedagang, jadilah "kyainya" para pedagang. Kalau jadi petani, jadilah kyainya para petani. Bahkan kalau jadi tukang becak sekalipun, jadilah kyainya para tukang becak. Karena "kyai" tidak harus punya pesantren, pakai kopiah, sarungan, pakai sorban. Di desa jadi panutan dan mengamalkan ilmu dari pondok walau sedikit, itu juga termasuk kyai.
Saat penulis mondok di Pon Pes Al Fatah Banjarnegara, Gus Najib masih menjadi anggota DPRD. Di tengah kesibukan beliau sebagai wakil rakyat, beliau tetap mengajar para santri. Utamanya hari Ahad menjadi badal Abah Hasyim mengajar kitab Ihya' Ulumuddin karya Imam Al Ghazali di serambi masjid Al Fatah. Di bulan puasa secara full satu bulan beliau mengajar kitab Al Luma', sebuah kitab klasik yang membahas perihal Ushul fiqh.
Ya, Abah Najib telah berpulang keharibaan Alloh Ta'ala pada Selasa, 3 Januari 2018 lalu. Tentu menyisakan banyak kesan, kenangan, dan wejangan bagi para santri-santrinnya.
Penulis sendiri tidak mengenal Abah Najib secara personal. Namun sebagai santri yang sangat hormat dan segan pada beliau. Saking segan dan pekewuhnnya, saat wisuda STIMIK Tunas Bangsa pada 27 September 2017, hendak meminta foto bersama dengan beliau saja saya tidak berani. Waktu itu, beliau masih sehat wal afiat, nampak gagah dengan memakai batik sarimbit warna cokelat agak kuning bersama ibu Nyai. Nurlaeli Khikmawati.
Dan juga waktu penulis mondok, Abah Hasyim (KH Hasyim Hasan Fattah) masih membimbing kami secara dekat melalui sorogan dan bandongan (metode mengaji khas pesantren tradisional). Sedangkan Abah Najib waktu itu masih aktif sebagai wakil rakyat dan politisi.
Namun sosok Abah Najib sangat menginspirasi. Nasehat dan wejangan beliau selalu dinantikan jika kebetulan mengisi acara pondok.
Diantara wejangan yang paling berkesan selain tulisan saya di atas :
1. Santri juga harus belajar ilmu umum dan modern, agar tidak kalah dengan zaman dan juga kalah dengan sekolah-sekolah seminari.
2. Beliau pernah singgah dan belajar di luar negeri, dan telah beliau simpulkan bahwa Ahlussunah waljama'ah adalah manhaj yang Haq dan benar.
3. Jadi santri dan "kanggo" (berguna) di masyarakat, jangan sedikit-sedikit minta dihormati atau dihargai. Baru punya murid di TPQ, sudah minta dicium tangan. Baru ngisi pengajian di mushola, sudah minta dihormati. Jangan sekali-kali seperti ini. Tetaplah tawadhu' dan hormatilah yang telah lebih dahulu memperjuangkan agama di desa.
4. Sistem bernegara dan demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah sesuai Qur'an dan Sunnah jika kita mau menggali apa yang ada di balik Qur'an. Contohnya pemilihan umum.
Dalam memilih pemimpin, konsep yang digariskan Islam ada banyak pilihan. Ketika Nabi wafat, sahabat mengadakan musyawarah dan aklamasi menunjuk Sayyidina Abu Bakar. Kemudian saat Sayyidina Abu Bakar wafat, beliau menunjuk langsung Sayyidina Umar. Dan saat Sayyidina Umar wafat beliau meminta rakyat memilih diantara 4 sahabat utama sebagai pengganti. Dan semuanya dilanjutkan dengan baiat rakyat pada pemimpinnya.
Nah, pemilihan umum juga mengadopsi "baiat" ala sunnah shohabat. Bedanya, baiat dilakukan dengan cara "mencoblos". Artinya, nawaitu dan tujuan mencoblos, sama dengan "berbaiat" menyerahkan mandat dan amanah kepada pemimpin. Beliau juga mewanti-wanti agar tetap mengikuti jejak para sahabat dengan ayat "Wa sabiqunal awwaluna minal muhajirina wal ansori waladzina tabba'uhum bil ihsan".
Pesan Gus Najib yang paling esensi dan sangat penting menurut saya, adalah amalkan ilmu dari pondok walaupun sedikit. Percumah mondok di pesantren puluhan tahun, kitab kuning satu lemari. Tapi di masyarakat tidak ditularkan atau di kehidupan tidak diamalkan. Dan disinilah lahan perjuangan santri yang sesungguhnya.
Gus Najib telah pergi, namun ilmu dan semangat perjuangan beliau masih tetap di sini. Di hati sanubari kita para santri. Terkenang beliau yang berdakwah hingga ke pelosok dukuh, bahkan saat-saat terakhir dalam keadaan sakit, beliau tetap menyempatkan menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Semoga Robbul Izati menempatkan beliau di tempat yang terbaik.
Wallohu'alam bi showab.
Namun sosok Abah Najib sangat menginspirasi. Nasehat dan wejangan beliau selalu dinantikan jika kebetulan mengisi acara pondok.
Diantara wejangan yang paling berkesan selain tulisan saya di atas :
1. Santri juga harus belajar ilmu umum dan modern, agar tidak kalah dengan zaman dan juga kalah dengan sekolah-sekolah seminari.
2. Beliau pernah singgah dan belajar di luar negeri, dan telah beliau simpulkan bahwa Ahlussunah waljama'ah adalah manhaj yang Haq dan benar.
3. Jadi santri dan "kanggo" (berguna) di masyarakat, jangan sedikit-sedikit minta dihormati atau dihargai. Baru punya murid di TPQ, sudah minta dicium tangan. Baru ngisi pengajian di mushola, sudah minta dihormati. Jangan sekali-kali seperti ini. Tetaplah tawadhu' dan hormatilah yang telah lebih dahulu memperjuangkan agama di desa.
4. Sistem bernegara dan demokrasi di Indonesia sebenarnya sudah sesuai Qur'an dan Sunnah jika kita mau menggali apa yang ada di balik Qur'an. Contohnya pemilihan umum.
Dalam memilih pemimpin, konsep yang digariskan Islam ada banyak pilihan. Ketika Nabi wafat, sahabat mengadakan musyawarah dan aklamasi menunjuk Sayyidina Abu Bakar. Kemudian saat Sayyidina Abu Bakar wafat, beliau menunjuk langsung Sayyidina Umar. Dan saat Sayyidina Umar wafat beliau meminta rakyat memilih diantara 4 sahabat utama sebagai pengganti. Dan semuanya dilanjutkan dengan baiat rakyat pada pemimpinnya.
Nah, pemilihan umum juga mengadopsi "baiat" ala sunnah shohabat. Bedanya, baiat dilakukan dengan cara "mencoblos". Artinya, nawaitu dan tujuan mencoblos, sama dengan "berbaiat" menyerahkan mandat dan amanah kepada pemimpin. Beliau juga mewanti-wanti agar tetap mengikuti jejak para sahabat dengan ayat "Wa sabiqunal awwaluna minal muhajirina wal ansori waladzina tabba'uhum bil ihsan".
Pesan Gus Najib yang paling esensi dan sangat penting menurut saya, adalah amalkan ilmu dari pondok walaupun sedikit. Percumah mondok di pesantren puluhan tahun, kitab kuning satu lemari. Tapi di masyarakat tidak ditularkan atau di kehidupan tidak diamalkan. Dan disinilah lahan perjuangan santri yang sesungguhnya.
Gus Najib telah pergi, namun ilmu dan semangat perjuangan beliau masih tetap di sini. Di hati sanubari kita para santri. Terkenang beliau yang berdakwah hingga ke pelosok dukuh, bahkan saat-saat terakhir dalam keadaan sakit, beliau tetap menyempatkan menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Semoga Robbul Izati menempatkan beliau di tempat yang terbaik.
Wallohu'alam bi showab.
Tempuran, 06 Januari 2018
Adi Esmawan,
Santri PP Al Fatah (2005-2009)
Pengasuh Muhibbul Qur'an Studyclub
Keterangan foto :
1. Gus Miftahudin bersalaman dengan Abah Najib Hasyim pertengahan tahun 2017 di Dukuh Legoklangkir Wanayasa
2. KH Mohammad Najib Hasyim saat berdakwah di Hongkong beberapa tahun lalu.
Adi Esmawan,
Santri PP Al Fatah (2005-2009)
Pengasuh Muhibbul Qur'an Studyclub
Keterangan foto :
1. Gus Miftahudin bersalaman dengan Abah Najib Hasyim pertengahan tahun 2017 di Dukuh Legoklangkir Wanayasa
2. KH Mohammad Najib Hasyim saat berdakwah di Hongkong beberapa tahun lalu.